Belajar Tanpa Beban, Strategi Mengelola Stres Akademik

EDUPSI.ID – Maya menatap layar laptopnya dengan cemas. Jarum pendek pada jam dinding telah menunjukan waktu 11 malam, dan tenggat batas waktu pengumpulan tugas makalah hanya tinggal satu jam lagi. Layar penuh dengan kalimat-kalimat yang belum sempurna, dan semakin dia mengetik, semakin kacau pikirannya. Belum lagi besok masih ada dua ujian menunggu, dan bahkan Maya belum sempat belajar. Hatinya berdebar cepat, seakan-akan waktu yang terus berjalan mengencangkan jeratan di dadanya. Sejak awal semester, Maya merasa dikejar oleh jadwal yang padat. Setiap mata kuliah memberikan tugas yang tidak ada habisnya. Harapan tinggi dari orang tuanya juga semakin membuat dia merasa terbebani. Mereka selalu berkata, “Kamu harus berprestasi, Maya. Masa depanmu bergantung pada nilai-nilaimu.” Kalimat itu terus terngiang di kepalanya, menambah rasa bersalah setiap kali dia merasa lelah dan ingin beristirahat. Maya mencoba menenangkan diri, mengambil napas panjang. Namun, pikirannya kembali terpusat pada deretan tugas yang harus segera diselesaikan. “Apa yang salah denganku?” pikirnya. Perasaan tidak cukup baik, takut gagal, dan cemas menjadi teman sehari-harinya. Malam itu, saat Maya akhirnya menyerahkan tugas lima menit sebelum tenggat, dia sadar bahwa tubuhnya mulai lelah, bukan hanya fisik, tapi juga mental. Dia terperangkap dalam lingkaran tekanan yang seakan tidak berujung.

Cerita di atas merupakan cerita imajiner yang mungkin saja dialami oleh banyak siswa dan mahasiswa ketika dihadapkan pada tekanan akademik. Cerita tersebur menggambarkkan seseorang yang tengah mengalami stress akademik. Lalu apa itu Stres akademik ? definsi yang sederhana dalam memahami stress akademik adalah respons individu terhadap tekanan yang muncul dari kegiatan belajar, seperti banyaknya tugas, tenggat waktu yang ketat, serta harapan akan performa akademik yang tinggi. Jika merujuk pada Lazarus & Folkman (1984), stres adalah ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan seseorang untuk mengatasi tuntutan tersebut. Dalam konteks akademik, stres sering kali disebabkan oleh ketidakseimbangan antara tuntutan belajar dan kemampuan mahasiswa untuk mengelola beban tersebut. Di era pendidikan saat ini, masalah stres akademik semakin relevan. Teknologi dan media sosial mempercepat alur informasi dan tuntutan untuk selalu mengikuti perkembangan akademik, memperburuk tekanan yang dirasakan oleh mahasiswa. Oleh karena itu, penting untuk membahas strategi mengelola stres agar mahasiswa dapat belajar tanpa beban.

Setidaknya terdapat beberapa faktor yang menyebabkan stres akademik, antara lain : Pertama, beban tugas yang tinggi. Sebagai seorang pelajar baik sebagai siswa atau Mahasiswa sering kali dihadapkan pada jadwal belajar yang padat, tugas yang berkelanjutan, dan ujian yang menumpuk. Hal ini membuat mereka merasa terbebani dan sulit untuk menyeimbangkan antara kehidupan akademik dan pribadinya. Kedua, Harapan yang tinggi. Harapan Baik itu yang datang dari diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan sosial dapat memicu tekanan. Siswa atau mahasiswa merasa harus selalu berprestasi tinggi untuk memenuhi ekspektasi tersebut, baik dalam hal nilai maupun pencapaian akademik lainnya. Ketiga, manajemen waktu yang buruk. Banyak siswa dan mahasiswa yang kesulitan mengatur waktu antara kegiatan akademik, aktivitas sosial, dan waktu istirahat. Ketidakmampuan mengelola waktu ini dapat memperburuk stres, terutama ketika tenggat waktu sudah dekat. Teknologi dan Distraksi. Meski teknologi dapat membantu dalam belajar, perangkat digital dan media sosial sering kali menjadi gangguan yang mengurangi produktivitas. Mahasiswa yang terlalu banyak menggunakan teknologi untuk hal-hal non-akademik cenderung mengalami stres akibat kurangnya waktu untuk belajar dengan fokus.

Stres akademik tidak hanya berdampak pada kesehatan mental, tetapi juga pada performa akademik dan kesehatan fisik seseorang. Penelitian menunjukkan bahwa stres berkepanjangan dapat menyebabkan kecemasan, depresi, dan burnout (Schaufeli et al., 2002). Mahasiswa yang mengalami stres cenderung merasa tidak termotivasi, kehilangan minat belajar, dan kesulitan dalam memahami materi akademik. Secara fisik, stres juga dapat menyebabkan gangguan tidur, sakit kepala, dan kelelahan. Stres yang tidak dikelola dengan baik dapat mengakibatkan masalah kesehatan yang lebih serius, seperti penurunan sistem kekebalan tubuh dan penyakit kronis. Selain itu, performa akademik mahasiswa juga menurun karena mereka kesulitan berkonsentrasi dan belajar secara efektif.

Mengelola stres akademik memerlukan penerapan beberapa strategi yang efektif dan praktis. Salah satu strategi penting adalah manajemen waktu yang efisien. Mahasiswa sering kali kewalahan karena banyaknya tugas yang harus diselesaikan dalam waktu yang bersamaan. Dengan mengatur jadwal harian yang terencana, mahasiswa dapat membagi waktu secara proporsional antara belajar, istirahat, dan aktivitas lainnya. Misalnya, teknik Pomodoro, di mana mahasiswa bekerja selama 25 menit tanpa gangguan, kemudian beristirahat selama 5 menit, dapat meningkatkan produktivitas tanpa membuat mereka merasa terbebani. Contohnya, Lisa, seorang mahasiswa psikologi, yang merasa sulit membagi waktu antara tugas makalah dan persiapan presentasi. Setelah menerapkan teknik Pomodoro, Lisa dapat menyelesaikan tugasnya tepat waktu tanpa kelelahan.

Selain manajemen waktu, teknik relaksasi juga dapat membantu mengurangi kecemasan akibat stres akademik. Teknik seperti latihan pernapasan 4-7-8, di mana seseorang menarik napas selama 4 detik, menahannya selama 7 detik, dan mengeluarkannya selama 8 detik, mampu menenangkan pikiran yang gelisah. Misalnya, Rizki, seorang mahasiswa Psikologi, yang selalu cemas sebelum ujian, mulai menerapkan teknik ini sebelum belajar, dan merasakan peningkatan konsentrasi serta ketenangan. Tak hanya itu, dukungan sosial juga memainkan peran penting dalam mengelola stres akademik. Berbicara dengan teman, keluarga, atau konselor dapat membantu melepaskan tekanan yang dirasakan. Dukungan emosional memberikan rasa nyaman dan motivasi bagi mahasiswa. Dina, misalnya, merasa tertekan dengan tugas akhir yang menumpuk. Setelah berbagi dengan sahabatnya, Dina menyadari bahwa ia tidak sendirian menghadapi tekanan tersebut dan merasa lebih ringan dalam menyelesaikan tugasnya. Jika stres akademik terus mengganggu, mencari bantuan dari konselor kampus atau psikolog juga bisa menjadi solusi yang tepat.

Selain dukungan sosial, growth mindset juga penting dalam menghadapi tekanan akademik. Carol Dweck (2006) menekankan bahwa pendekatan mental yang berfokus pada pengembangan diri dan melihat tantangan sebagai peluang belajar dapat membantu mahasiswa untuk tetap termotivasi meskipun dihadapkan pada kesulitan. Misalnya, Ali merasa frustrasi karena nilai ujiannya tidak sesuai harapan meskipun sudah belajar keras. Setelah mengadopsi growth mindset, Ali mulai melihat kegagalannya sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri dan belajar dari kesalahan. Dengan mentalitas ini, Ali menjadi lebih termotivasi untuk terus belajar dan tidak mudah menyerah.

Terakhir, mahasiswa perlu mengurangi tekanan perfeksionisme. Perfeksionisme sering kali menjadi penyebab utama stres akademik karena mahasiswa yang selalu berusaha sempurna cenderung takut membuat kesalahan. Padahal, kesalahan adalah bagian dari proses belajar. Misalnya, Nina, seorang mahasiswa yang selalu mengejar nilai sempurna, sering merasa stres ketika hasilnya tidak sesuai ekspektasi. Setelah berdiskusi dengan dosennya, Nina belajar untuk lebih fokus pada proses belajar dan perkembangan pribadi daripada hanya mengejar kesempurnaan. Dengan demikian, ia menjadi lebih santai dan tetap berkembang meskipun hasilnya tidak selalu sempurna. Dengan menerapkan strategi-strategi ini secara konsisten, mahasiswa dapat mengelola stres akademik lebih baik, menjaga keseimbangan antara performa akademik dan kesejahteraan mental, serta meningkatkan produktivitas tanpa terbebani.

Referensi:

  • Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. Random House.
  • Kabat-Zinn, J. (1990). Full Catastrophe Living: Using the Wisdom of Your Body and Mind to Face Stress, Pain, and Illness. Delta.
  • Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. Springer Publishing Company.
  • Schaufeli, W. B., Maslach, C., & Marek, T. (2002). Professional Burnout: Recent Developments in Theory and Research. Taylor & Fra ncis.