Peran Guru dalam Membantu Mereduksi Stress pada Siswa

EDUPSI.ID – Stres akademik merupakan salah satu masalah yang banyak dihadapi oleh siswa di berbagai jenjang pendidikan. Ketika siswa mengalami stres yang berlebihan, kemampuan kognitif mereka dapat terpengaruh. Menurut penelitian McEwen (2007), stres yang berkelanjutan dapat mengganggu fungsi otak, terutama di area yang berhubungan dengan memori dan pengambilan keputusan. Akibatnya, siswa mungkin mengalami kesulitan dalam berkonsentrasi, mengingat informasi, dan memproses pelajaran secara efektif. Sebuah studi American Psychological Association (APA, 2018) menunjukkan bahwa stres berat dapat mengakibatkan berbagai masalah kesehatan fisik siswa, termasuk gangguan tidur dan masalah pencernaan. Siswa yang merasa stres mungkin terlihat lesu atau sering mengeluh tentang rasa sakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Misalnya, siswa yang sering kali merasa cemas sebelum ujian bisa mengalami masalah tidur, yang pada akhirnya memengaruhi fokus dan konsentrasi mereka di kelas.

Tanda emosional dari stres pada siswa juga dapat beragam, dari perasaan cemas, mudah marah, hingga merasa tidak berdaya. Menurut Lazarus & Folkman (1984), respons emosional terhadap stres sering kali muncul dalam bentuk kecemasan berlebihan, di mana siswa merasa tidak mampu menghadapi beban akademik. Gejala ini dapat terlihat ketika siswa menunjukkan rasa takut yang tidak proporsional terhadap tugas sekolah atau ujian. Mereka mungkin tampak sangat gelisah, cemas, atau mudah menangis, terutama ketika menghadapi tekanan dari tugas-tugas akademik. Sebagai contoh, seorang siswa yang biasanya berprestasi dapat menjadi sangat tertekan ketika merasa bahwa ia tidak dapat memenuhi harapan, baik dari guru maupun orang tua, yang pada gilirannya dapat memengaruhi kepercayaan dirinya.

Perubahan perilaku merupakan salah satu tanda stres yang paling mudah dikenali. Siswa yang mengalami stres mungkin mengalami penurunan motivasi belajar, absen secara tiba-tiba, atau menarik diri dari aktivitas sosial. Menurut Selye (1956), ketika seseorang mengalami stres, tubuh akan merespons dalam tiga tahap: alarm, resistance, dan exhaustion. Pada tahap exhaustion, individu mungkin mengalami kelelahan fisik dan mental yang menyebabkan perubahan dalam performa dan perilaku sehari-hari. Dalam konteks siswa, mereka mungkin menjadi lebih sering bolos atau kurang tertarik dalam aktivitas sekolah. Siswa yang mengalami stres bisa jadi mengalami kesulitan dalam memahami materi pelajaran, mengerjakan tugas dengan baik, atau mencapai hasil yang biasanya mereka capai.

Hambatan kognitif, perubahan emosional dan perilaku yang diuraikan tersebut bisa menjadi indikator bagi guru bahwa ada masalah yang perlu diatasi. Sebagai contoh, seorang siswa yang biasanya mendapatkan nilai tinggi tiba-tiba mengalami penurunan dalam hasil ujian atau tugas dapat menunjukkan bahwa mereka sedang menghadapi stres yang memengaruhi kemampuan mereka untuk fokus dan belajar dengan efektif. Guru, sebagai pihak yang memiliki interaksi langsung dengan siswa di lingkungan sekolah, memiliki posisi strategis untuk mengidentifikasi, mendukung, dan mereduksi stres yang dialami siswa, sehingga mereka dapat belajar dengan lebih efektif dan seimbang.

Guru memiliki peran penting dalam menjaga kesejahteraan psikologis siswa melalui beberapa cara atau upaya. Pertama, guru dapat berfungsi sebagai detektor awal terhadap gejala stres yang dialami siswa. Siswa yang stres sering kali menunjukkan perubahan dalam perilaku sehari-hari, seperti penurunan semangat belajar, sering absen, atau menjadi lebih cemas dan mudah tersinggung. Guru yang peka terhadap perubahan ini dapat segera mengambil langkah-langkah untuk mendukung siswa, baik melalui pendekatan langsung maupun dengan merujuk mereka ke layanan konseling sekolah. Kedua, guru dapat menciptakan lingkungan belajar yang mendukung kesejahteraan emosional siswa. Sebuah penelitian oleh Jennings & Greenberg (2009) menemukan bahwa guru yang mampu menciptakan iklim kelas yang positif dan mendukung, di mana siswa merasa aman dan dihargai, dapat membantu mengurangi tingkat stres siswa. Dukungan emosional dari guru memainkan peran penting dalam mereduksi stres yang dialami siswa. Sering kali, stres akademik timbul bukan hanya karena tugas yang menumpuk atau tekanan untuk berprestasi, tetapi juga karena kurangnya rasa percaya diri dan kecemasan akan hasil. Dalam situasi seperti ini, dukungan emosional yang diberikan secara langsung oleh guru dapat membantu siswa merasa didengar, dihargai, dan lebih percaya diri dalam menghadapi tantangan akademik.

Salah satu bentuk dukungan emosional paling dasar yang bisa diberikan guru adalah dengan menjadi pendengar yang baik. Siswa yang mengalami stres sering kali membutuhkan tempat untuk berbicara tentang tekanan yang mereka rasakan. Dengan mendengarkan siswa secara aktif, guru dapat memberikan ruang bagi siswa untuk mengekspresikan perasaan mereka tanpa takut dihakimi. Menurut sebuah studi oleh Laursen dan Collins (2009), interaksi yang positif antara guru dan siswa dapat meningkatkan rasa aman emosional pada siswa, sehingga mereka lebih mampu mengatasi tekanan yang dihadapi. Contohnya, seorang siswa yang khawatir tentang ujian mungkin merasa lebih tenang setelah mendiskusikan kekhawatirannya dengan guru yang mendengarkan dengan empati dan menawarkan nasihat yang bijaksana.

Selain menjadi pendengar yang baik, guru juga dapat memberikan dukungan emosional melalui penguatan positif. Penguatan positif adalah bentuk apresiasi terhadap usaha siswa, bukan hanya hasil akhir. Ini sangat penting dalam mereduksi stres yang berkaitan dengan perfeksionisme atau tekanan untuk selalu mendapatkan nilai tinggi. Menurut penelitian Dweck (2006) siswa yang diberikan penghargaan atas usaha mereka, cenderung memiliki pandangan yang lebih positif terhadap belajar dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi tantangan. Dengan memberikan apresiasi pada proses belajar, guru dapat membantu siswa untuk lebih fokus pada kemajuan mereka sendiri, serta mengurangi tekanan untuk selalu menjadi sempurna. Misalnya, ketika seorang siswa mengalami kesulitan dengan tugas matematika, alih-alih hanya fokus pada kesalahan yang dibuat, guru dapat memuji usaha yang dilakukan siswa tersebut dalam mencoba menyelesaikan tugas. Dengan cara ini, siswa merasa dihargai dan termotivasi untuk terus mencoba, meskipun hasil akhirnya belum sempurna. Penguatan positif dapat membantu siswa merasa lebih percaya diri dan mengurangi kecemasan dalam menghadapi tekanan akademik.

Selain itu Guru perlu menciptakan suasana di mana siswa merasa nyaman dan percaya untuk berbicara tentang masalah mereka. Menurut Bronfenbrenner (1979), interaksi antara siswa dan guru dalam konteks sosial yang lebih luas sangat mempengaruhi perkembangan siswa. Guru yang mampu membangun hubungan yang hangat dan terbuka dengan siswa dapat membantu siswa merasa lebih tenang, aman, dan didukung secara emosional, sehingga mereka lebih mampu mengatasi tekanan akademik yang mungkin mereka alami. Dengan memberikan dukungan emosional secara langsung melalui pendengaran yang aktif, penguatan positif, konseling, dan membangun hubungan yang terbuka, guru dapat membantu siswa mengatasi stres akademik dengan lebih baik, serta menciptakan lingkungan belajar yang lebih sehat dan kondusif bagi kesejahteraan emosional mereka. Selain itu guru juga dapat menjadi model dalam menghadapi stres. Dengan menunjukkan bagaimana mereka sendiri mengelola tekanan dan tantangan dalam kehidupan sehari-hari, guru dapat mengajarkan siswa keterampilan penting dalam manajemen stres. Mengajarkan keterampilan seperti mindfulness, manajemen waktu, dan teknik relaksasi sederhana dapat membantu siswa dalam mengelola tekanan akademik yang mereka alami.

Referensi:

  • American Psychological Association. (2018). Stress in America: Generation Z. APA. https://www.apa.org/news/press/releases/stress/2018/stress-gen-z.pdf
  • Bronfenbrenner, U. (1979). The Ecology of Human Development: Experiments by Nature and Design. Harvard University Press.
  • Corey, G. (2013). Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (9th ed.). Cengage Learning.
  • Dweck, C. S. (2006). Mindset: The New Psychology of Success. Random House.
  • Jennings, P. A., & Greenberg, M. T. (2009). The Prosocial Classroom: Teacher Social and Emotional Competence in Relation to Student and Classroom Outcomes. Review of Educational Research, 79(1), 491-525. https://doi.org/10.3102/0034654308325693
  • Laursen, B., & Collins, W. A. (2009). Parent-Child Relationships during Adolescence. In Lerner, R. M. & Steinberg, L. (Eds.), Handbook of Adolescent Psychology (pp. 3-42). John Wiley & Sons.
  • Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. Springer Publishing Company.
  • McEwen, B. S. (2007). Physiology and Neurobiology of Stress and Adaptation: Central Role of the Brain. Physiological Reviews, 87(3), 873-904. https://doi.org/10.1152/physrev.00041.2006
  • Selye, H. (1956). The Stress of Life. McGraw-Hill